13 Jun 2013

Penantian Sepuluh Tahun

Kisah ini diceritakan sendiri oleh pelakunya, yang dimuat di koranAl-Yaum. Dia berkata, “Saya menikah ketika usia saya menginjak 21 tahun, di awal Sya’ban pada tahun 1411 H. Seperti wanita muda yang siap menikah dan mengarungi hidup baru, saya bersatu dengan suami saya diliputi banyak impian. Yang paling penting adalah impian menjadi ibu. Bulan-bulan berlalu, dinaungi perasaan bahagia dan penantian, penantian terwujudnya impian terpenting bagi suami-istri, yakni kehadiran seorang anak yang menebarkan kebahagiaan dan keceriaan di penjuru rumah. Tetapi penantian itu berlang­sung lama, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Dan semakin lebarlah lingkaran penantian. Orang-orang di sekitar mulai ikut serta dalam penantian kami, yang justru semakin mempersulit keadaan.

Dalam pandangan sebagian orang saya menjadi tertuduh. sebagian lain menganggap saya sebagai wanita yang patut dikasihani, sehingga mereka menjauhi pembicaraan tentang topik apapun yang berkaitan dengan masalah ini secara berlebihan. Yang lebih menyulitkan adalah sikap sebagian orang yang menganggap saya sebagai wanita pendengki. Salah seorang tetangga tidak memberitahukan kehamilannya kepada saya. Yang lain tidak menampakkan anak-anaknya di depan saya, takut dari pandangan mata saya yang mendengki. Semua itu menjadikan saya seorang wanita yang terkucil.

Hal ini semakin menambah kesendirian dan keterasingan saya. Perjalanan pengobatan dimulai sejak 6 bulan setelah pernikahan. Saya menghayalkan seorang anak yang berlarian di setup sudut rumah. Saya membayangkan bermain dengannya di satu waktu, atau dia menggoda saya dengan kebandelannya di lain waktu.

Setelah menunggu selama 7 tahun, saya dihinggapi keputusasaan. Sava menyerah dan meninggalkan pengobatan. Saya berhenti mondar-mandir dari satu dokter ke dokter lainnya. Tetapi Suami saya tidak menyetujui sikap saya. Dia memperingatkan saya agar tidak berputus asa dari rahmat Allah.

Suami saya mempunyai perhatian dan kasih sayang yang besar. Saya telah menawarkan kepadanya untuk menikah, tetapi dia menolak seraya berkata, “Menikah itu memberi dan menerima. Kedua belah pihak menanggung untung dan rugi.”

Suatu saat ketika saya berkonsultasi secara rutin dengan seorang dokter wanita, dokter itu meminta melakukan beberapa pemeriksaan. Dia membawa saya kc ruang USG. Selang lima menit dari pemeriksaan, dokter itu tiba-tiba melompat dari tempat duduknya, merangkul dan mencium saya sambil menangis, berulang-ulang dia berucap, “Kembar, kembar. Hamil kembar.” Suami saya bergegas masuk ke ruangan tersebut sambil bertanya-tanya, “Apakah berita ini khusus untuk istri saya? Apakah yang muncul di layar monitor itu benarbenar janin saya? Tolong dicek ulang!”
Itulah ucapan terakhir yang saya dengar sebelum saya pingsan. Ketika sadar saya telah bcrada di suatu ruang peristirahatan di rumah sakit. Suami, bapak dan ibu mertua sava berada di sekeliling saya mengucapkan selamat atas kehamilan saya.

Sava keluar dari rumah sakit setelah dua hari menginap. Kebahagiaan dn keceriaan menyelimuti diri saya. Akan tetapi hari-hari panjang, Sembilan tahun masa pengobatan menjadi lebih pendek bagi saya daripada satu hari dari hari-hari kehamilan untuk menunggu kelahiran anak-anak saya. Setelah kehamilan saya berusia dua setengah bulan, tiba-tiba terjadi pendarahan . Setelah dicek ke dokter, dikatakan bahwa kehamilan saya tidak bisa diteruskan. Janin telah wafat dan rahim harus dibersihkan.

Percayalah saya tidak bersedih. Saya justru bersyukur kepada Allah karena saya pernah mengalami dan merasakan hamil. Ya, sebagai wanita saya pernah hamil! Lima bulan setelah keguguran, saya kembali lagi ke dokter karena perut saya sakit seperti sakitnya orang hamil. Tiba-tiba dia menyampaikan bahwa saya hamil tujuh bulan dan bahwa satu dari janin yang kembar ditakdirkan Allah untuk hidup. Dokter menyampaikan hal itu sementara dia hampir-hampir tidak percaya, terlebih saya sendiri. Setelah proses keguguran saya telah puas pernah hamil, sebagaimana yang dulu saya katakan. “Subbanallah, ya Allah betapa besar kekuasaan-Mu.”

Saya menulis kalimat-kalimat ini dan saya masih berada di ruang perawatan di rumah sakit. Di samping saya, ada Muhammad anak saya, usianya sekarang 22 jam. “Wahai putraku, betapa lama aku merindukanmu, rumah kita, sudut-sudutnya merindukan kedatanganmu. la merindukanmu. Aku akan meletakkanmu dihatiku, membawamu ke rumah kami, di mana aku melihatmu bermain, tumbuh besar selama masa penantian panjang selama sepuluh tahun. Tetapi kali ini kamulah yang harus bersabar, tunggulah ayahmu pulang dari umrah. Dia bersyukur dan memuji Allah atas karunia-Nya dan nikmat-Nya kepada kita.” 

Sumber: 
Buku "Dan Datanglah Kemudahan…" 
Ahmas Salim Baduwailan, Hal.43-47, Penerbit Elba, Cet.2.

Share: