27 Nov 2013

Indahnya Bersyukur

Aku tak selalu mendapatkan apa yang aku sukai, oleh karena itu aku selalu menyukai apa yang aku dapatkan...

Kata-Kata diatas merupakan wujud syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tentram dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia.

Ada dua hal yang sering membuat kita tak bersyukur.

Pertama, kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Katakanlah anda telah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang terbaik. Tapi anda masih merasa kurang. Pikiran anda dipenuhi berbagai target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah,mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang.

Kita ingin ini dan itu. Bila tak mendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tak puas, kita ingin yang lebih lagi. Jadi, betapapun banyaknya harta yang kita miliki, kita tak pernah menjadi "KAYA" dalam arti yang sesungguhnya.

Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang "kaya". Orang yang "kaya" bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki.

Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaan tak tenteram. Kita dapat mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yang sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan merasakan nikmatnya hidup.

Mari pusatkan perhatian kita pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, dan orang-orang di sekitar kita. Mereka pasti akan menjadi lebih menyenangkan.

Seorang pengarang pernah mengatakan, "Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, setelah itu cintailah orang yang Anda nikahi." Ini perwujudan rasa syukur.

Saya pernah membaca sebuah cerita tentang seorang kakek yang mengeluh karena tak dapat membeli sepatu, padahal sepatunya sudah lama rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.

Kedua, yang sering membuat kita tak bersyukur adalah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita.

Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri.........

Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi.

Mungkin kita pernah membaca sebuah kisah tentang seorang ibu yang sedang terapung di laut karena kapalnya karam, namun tetap berbahagia. Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab, "Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup ditanah seberang. Kalau berhasil selamat, saya sangat bahagia karena dapat berjumpa dengan anak kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga." Subhanallah...

Bersyukurlah !

Bersyukurlah bahwa kita belum siap memiliki segala sesuatu yang kita inginkan .....
Seandainya sudah, apalagi yang harus diinginkan ?

Bersyukurlah apabila kita tidak tahu sesuatu ...
Karena itu memberikan kita kesempatan untuk belajar ...

Bersyukurlah untuk masa-masa sulit ...
Di masa itulah kita bisa tumbuh ...

Bersyukurlah untuk segala keterbatasan kita ...
Karena itu memberimu kesempatan untuk berkembang dan memperbaiki diri...

Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru ...
Karena itu akan membangun kekuatan dan karakter kita...

Bersyukurlah untuk kesalahan yang pernah kita buat ...
Karena itu akan memberikan pembelajaran yang berharga tuk menjadi lebih baik......

Bersyukurlah bila kita lelah,letih dan tak berdaya...
Karena pada dasarnya kita telah membuat suatu perbedaan dalam memanfaatkan waktu......

Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal yang baik...
Hidup yang berkelimpahan datang pada mereka yang juga bersyukur akan masa surut...

Rasa syukur dapat mengubah hal yang negatif menjadi positif .
Kehidupan yg bermakna adalah bagi mereka yg juga bersyukur atas kesulitan yg dihadapi

Temukan cara bersyukur akan masalah-masalah yang kita temui niscaya semua itu akan menjadi berkah bagi kita ...

Mari Sahabat...
Marilah kita semua lebih mendekat pada Allah
Agar tunduk saat yang lain Angkuh,
Agar teguh saat yang lain Runtuh,
Agar tegar saat yang lain terkapar.

Written By Muhammad Yuliawan on Sabtu, Desember 26, 2009 | 12/26/2009

1 Nov 2013

Pak Ali ‘hanya’ Tenaga Honorer dan Ia Pandai Bersyukur

Setiap saya masuk kantor pagi hari, keadaan ruangan saya sudah serba bersih dan rapi. Meja kerja sudah mengkilap lagi, tak ada bekas-bekas tangan yang mengotori meja yang terbuat dari kayu jati itu. Berkas-berkas dan buku-bukupun telah ditata dengan rapi. Demikian pula alat tulis dan peralatan lainnya yang selalu ada di meja, sudah tersimpan rapi pada tempatnya.

Di toilet juga sudah serba tertata dan wangi. Di lantai, di closet dan di meja wastafel tidak tampak ada lagi tetesan air, apalagi kotoran. Kelengkapan seperti tissu, sabun, handuk, sikat dan pasta gigi serta lain-lainnya sudah selalu siap.

Di ruang istirahatpun, yang letaknya ada di antara ruang kerja dan toilet, semuanya sudah rapi nan wangi. Sajadah, sandal-sandal, lemari baju, meja kecil dan kursinya, dan peralatan lainnya yang ada di situ semuanya sudah tertata dengan baik.

Jam berapapun saya masuk kantor, jam setengah delapan atau kadang jam tujuh pagi, kalau lalu lintas sedang lengang misalnya, keadaan ruangan selalu begitu. Tidak pernah saya mendapat ruangan acak-acakan ketika saya masuk kantor.

Lalu, siapakah yang selalu rajin melakukan semua ini? Dialah Pak Ali.

**

Nama lengkapnya Ali Abdul Kholid. Sudah enam tahun ia mengabdi sebagai pegawai honorer di Badilag (Badan Peradilan Agama). Ia orang Betawi asli, kelahiran Kampung Melayu, sekitar 5 km dari kantor Badilag. Ia, isteri dan anak semata wayangnya yang berusia 4 tahun juga tinggal di tempat kelahirannya itu.

Dengan menggunakan bis umum, setelah selesai shalat Shubuh, setiap hari Pak Ali berangkat ke Badilag. Sekitar pukul 6 ia sudah tiba di kantor. Saya tidak pernah datang ke kantor sebelum pukul 7. Maka pantaslah kalau keadaan ruangan saya selalu sudah rapi saat saya datang ke kantor.

Pak Ali, yang mempunyai tugas membersihkan ruangan kantor Badilag di lantai 6 dan melayani keperluan sehari-hari saya ini, tampak lugu. Ia tidak banyak bicara apalagi banyak menuntut. Walaupun demikian, ia nampak rajin bekerja dan menikmatinya.

Ketika saya tanya, Pak Ali mengungkapkan rasa senangnya bekerja di Badilag, walaupun sebagai tenaga honorer. Mungkin karena umurnya yang sudah mencapai 46 tahun, Pak Ali tidak mengharapkan untuk menjadi PNS. Sepertinya ia tahu, tidak mungkin lagi dirinya bisa diangkat menjadi PNS di umur setua itu.

“Saya bisa bekerja seperti ini saja sudah Alhamdulillah, Pak,” tuturnya, “Saya sangat bersyukur dibandingkan dulu-dulu. Saya pernah bekerja di swasta, sebagai kuli bangunan, sebagai satpam, bahkan sebagai penjual baju. Saya lebih enak sekarang. Di sini tenang, penghasilan tetap, jumlahnya lumayan jika dibanding dulu-dulu dan yang lebih penting lagi suasana kerjanya enak.”

Lalu, ketika saya singgung tentang jumlah penghasilannya yang hanya Rp 1.350.000 sebulan, dengan polos Pak Ali menjawab, “Alhamdulillah, itu lebih besar dibandingkan dulu-dulu. Yang penting kita syukuri dan jalani hidup ini apa adanya. Saya berusaha selalu jujur, agar hidup tenang dan barokah.”

***

Saya sempat termenung, mendengar jawaban Pak Ali yang penuh dengan keikhlasan dan kepasrahan menjalani hidup ini. Dengan penghasilan yang kecil, Pak Ali selalu semangat, ceria, dan bersyukur. Betapa mulianya Pak Ali ini.

Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari hidup Pak Ali. Pak Ali yang penghasilannya seperti itu namun tetap rajin dan gembira, sementara kita yang penghasilannya jauh di atas Pak Ali, kadang kala menyesali, ngedumel dan malas. Rasanya ironis. Malu juga.

Tampak sekali, Pak Ali berupaya bekerja sebaik-baiknya, rajin dan tekun. Dalam hal kebaikan dan prestasi ini, ia tidak mau kalah dari orang lain. Ia selalu melihat kepada yang ada di atasnya, yang lebih rajin dan lebih giat. Sedangkan dalam hal penghasilan, ia selalu melihat dan membandingkan dengan yang berada di bawahnya. Paling tidak, ia membandingkan penghasilannya yang sekarang dengan penghasilannya ketika ia bekerja di tempat-tempat sebelumnya. Lalu ia bersyukur dan bertekad untuk berbuat jujur terus. Subhanallah...

Pantaslah apa yang disabdakan Nabi kita SAW, “Lihatlah apa yang diucapkannya—atau bisa saja, apa yang dilakukannya—dan janganlah engkau melihat siapa yang mengucapkannya”. Terima kasih Pak Ali, meski anda ‘hanya’ seorang pegawai honorer dengan penghasilan kecil, tapi sikap dan ucapan anda sangatlah menjadi teladan bagi orang lain, setidaknya bagi saya.

Saya tahu, betapa banyaknya tenaga-tenaga honorer di lingkungan peradilan agama yang penghasilannya seperti Pak Ali, atau bahkan kalau di daerah, jauh di bawah penghasilan Pak Ali. Mereka sangat berjasa membantu peradilan agama dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan. Bahkan selain itu, merekapun mengambil peran yang sangat besar dalam keberhasilan pelaksanaan Reformasi Birokrasi di lingkungan peradilan agama.

Di bidang Teknologi Informasi (TI) saja, yang merupakan ikon dalam program-program reformasi peradilan, banyak sekali tenaga honorer yang sangat berperan dan sangat menentukan.

Sebut saja Helmi Indra Mahyuddin. Ia adalah jagonya TI di Badilag bahkan di lingkungan peradilan agama secara nasional. Ia memegang tanggung jawab dan peran sangat besar dalam pengembangan TI. Ia sudah bermasa bakti selama lebih dari 5 tahun dan mempunyai andil besar dalam mengharumkan nama peradilan agama. Tapi, sungguh sayang, nasibnya masih memprihatinkan.

Kita sudah mengusahakan yang bersangkutan untuk dapat diangkat menjadi PNS, dengan mengikuti test CPNS, tapi keberuntungan masih belum sempat diraihnya. Belum lagi Ridwan dan Iwan—rekan kerja Helmi Indra Mahyudin—serta tenaga-tenaga honorer lainnya di Badilag dan di lingkungan peradilan agama seluruh Indonesia. Sayapun ikut sedih dan prihatin.

Di bidang lainnyapun, tenaga-tenaga honorer sangat banyak dan sangat membantu pelaksanaan tugas peradilan agama. Nasibnyapun masih belum menggembirakan.

Memang, beberapa waktu lalu telah ada proses pengangkatan tenaga honorer, tapi itu jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah yang ada. Mudah-mudahan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS ini terus berlanjut dari tahun ke tahun.

****

Melihat keadaan seperti itu, sepantasnya kalau kita memberikan penghargaan kepada Pak Ali dan tenaga honorer lainnya di seluruh Indonesia sebaik-baiknya. Penghargaan itu dapat berupa upaya kita agar mereka dapat diangkat menjadi CPNS.

Janganlah, kalau ada kesempatan mengajukan data mereka untuk dipertimbangkan sebagai PNS, lalu karena ada kepentingan tertentu yang tidak sehat, kita ajukan data tenaga honorer yang fiktif, sehingga terjadi kedholiman terhadap mereka yang betul-betul sudah mengabdi bertahun-tahun.

Atau, setelah mereka mendapat keberuntungan diangkat sebagai CPNS, lalu di antara kita ada yang meminta imbalan uang yang sangat besar bagi ukuran mereka, dengan dalih untuk diberikan kepada pihak-pihak tertentu yang berjasa, sebagai bentuk syukuran. Masya Allah! Saya sangat marah mendengar ada indikasi seperti itu.

Penghargaan lainnya yang patut diberikan kepada mereka adalah kesejahteraan mereka. Janganlah ada tindakan pemotongan honor-honor mereka yang sudah sangat kecil itu. Malah kalau bisa dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ajaklah mereka dalam kegiatan-kegiatan kantor yang berdampak adanya tambahan penghasilan bagi mereka selain honor bulanan.

Lalu, penghargaan lain yang tak kalah pentingnya adalah perlakukan kita kepada mereka. Perlakukanlah mereka sebagaimana kita memperlakukan pejabat dan pegawai lainnya. Kita perlakukan mereka dengan sewajarnya dan tidak menganggap remeh status kepegawaian mereka. Kita bersikap kepada mereka sebagaimana kita bersikap kepada pejabat dan pegawai lainnya. Kita wajib meng-uwong-kan, meng-‘orang’-kan dan menghormati mereka.

Kita tanamkan rasa saling menghormati, saling memahami dan saling mengasihi di antara kita, termasuk tenaga-tenaga honorer yang ada di lingkungan kita. Masing-masing kita, termasuk tenaga honorer, perlu mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Dengan demikian, tidak ada lagi perlakuan dan tuntutan yang tidak proporsional. Kita semua menjadi tenang, tentram dan damai dalam bergaul dan bekerja.

Kalau semua itu sudah kita lakukan bersama, insya Allah hidup yang barokah seperti diharapkan oleh Pak Ali akan dapat kita raih secara bersama pula.

Terima kasih, Pak Ali. Terima kasih, kawan-kawan semua.

Sumber: