31 Dec 2015

Berhentilah Menjadi Gelas


“Seorang guru sufi mendatangi seorang murid nya ketika wajah nya belakangan ini selalu tampak murung.

“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana pergi nya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habis nya,” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”

Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan Guru nya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum air nya sedikit.”

Si murid pun melakukan nya. Wajah nya kini meringis karena meminum air asin.

“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.

“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah murid nya yang meringis keasinan.

“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa murid nya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.”

Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulut nya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulut nya, tapi tak dilakukan nya. Rasa nya tak sopan meludah di hadapan Mursyid, begitu pikir nya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk diduduki nya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangan nya, mengambil air danau, dan membawa nya ke mulut nya lalu meneguk nya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokan nya, Sang Guru bertanya kepada nya, “Bagaimana rasa nya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibir nya dengan punggung tangan nya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan air nya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulut nya.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”

“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminum nya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikan nya, membiarkan murid nya itu meminum air danau sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah murid nya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyak nya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh ALLAH, sesuai untuk dirimu. Jumlah nya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.

“Tapi Nak, rasa ‘asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besar nya qalbu yang menampung nya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”

Sumber:

11 Aug 2015

Bersyukur Tak Cukup Hanya Dengan Lisan


Demi mensyukuri nikmat Allah dan melihat kebesaran-Nya, gunung-gunung didaki, tak peduli seberapa jauh dan seberapa lelah perjalanan yang dilalui. Beribu-ribu Mdpl puncak gunung dijalani tanpa rasa lelah karna semangat yang menggelora. Dinginnya malam di puncak gunung tak terlalu menjadi masalah karna semangat berjumpa mentari di waktu pagi.

Sedangkan ke masjid di dekat rumah, kosan, atau kontrakan yang tak sampai berhari-hari untuk sampai di sana, yang tak harus bermandi keringat untuk menginjakkan kaki di tangga pertamanya, yang tak harus memakai jaket super tebal ketika suara adzan Subuh mengajak kita untuk berjama'ah di sana. Kita justru lebih merasa enggan untuk hadir ke masjid.

Semangat 'menaklukkan' puncak gunung mengalahkan gairah kita memakmurkan masjid! Apa itu yg disebut mensyukuri nikmat Allah?

Pun demikian saat menonton acara televisi favorit kita, atau bermain game kesukaan kita, atau saat 'khusyu' dengan gadget dan media sosial kita. Berjam-jam waktu yang kita gunakan tak terasa lamanya. 

lantas, saat mengikuti sholat tarawih berjama'ah? Saat mendengarkan khatib berkhutbah waktu jum'at?

Satu jam waktu mengikuti sholat tarawih berjama'ah atau saat mendegarkan khutbah yg disampaikan khatib sungguh terasa begitu lama, teramat lama. Mengalahkan berjam-jam waktu yg kita pakai untuk menonton acara televisi dan bermain game favorit kita! Apa itu yg disebut mensyukuri nikmat Allah?

Mensyukuri nikmat-Nya bukan sekedar bersyukur dengan lisan, melainkan bersyukur dengan hati dan anggota tubuh. Meyakini dan mengakui bahwa segala kenikmatan yang kita dapatkan semua berasal dari Allah semata, dan mempergunakan kenikmatan-kenikmatan itu untuk melaksanakan berbagai ketaatan kepada-Nya.

31 Jul 2015

'Malu' Sama Kiai Saleh

Perawakannya sudah sepuh. Umurnya 104 tahun. Saya mengetahuinya ketika ikut acara tahlilan tetangga di dekat kontrakan. Saat mendengar bapak-bapak bercanda dengan beliau sebelum acara tahlil dimulai barulah saya tahu kalau umurnya sudah lebih dari 'kepala 10'. Orang-orang memanggilnya Kiai Saleh. Tapi, beliau bukan kiai besar yang punya pondok pesantren dengan ribuan santri. Bukan kiai yang kalau ngisi pengajian kemana-mana selalu dikawal santri kepercayaannya, pake mobil bagus plus sopir yang kebanyakan juga santrinya sendiri. Ya, beliau bukan kiai yang semacam itu. Beliau cuma kiai yang mengajar ngaji anak-anak di surau atau langgar.

Suaranya masih sangat lantang saat memimpin tahlil, lebih lantang dari kami yang umurnya terpaut jauh di bawah beliau. Tak ada pengeras suara atau sound system, tapi dari ruang tengah (tempat Kiai Saleh memimpin tahlil, saya berada di teras rumah) suaranya masih terdengar sangat jelas. Meskipun terkadang beberapa kali terdengar beliau sedikit ngos-ngosan saat menghela nafasnya. Sesekali beliau meneguk air gelas kemasan yang ada di depannya. Entah haus atau sekadar menghilangkan serak-serak di tenggorokannya yang sudah mulai mengering. 

Selama 7 malam tahlilan, tidak sekalipun beliau 'absen'. Selalu hadir memimpin tahlil dengan suara lantangnya. Tak ada raut wajah lelah, lesu atau mengantuk. Seringkali beliau yang memimpin semua bacaan tahlilan, mulai tawassul, pembacaan Surah Yaasin, pembacaan tahlil sampai doa. Tapi terkadang beliau hanya memimpin tawassul, pembacaan tahlil dan doa, sedang pembacaan Surah Yaasin beliau serahkan kepada ustad yang kebetulan hadir pada waktu itu.

Saat sholat tarawih pun beliau tidak luput dari perhatian saya. Sering kali saya persis berada di sampingnya. Sedikit saya perhatikan, di shaf paling depan kebanyakan diisi bapak-bapak, lebih tepatnya kakek-kakek menurut saya, termasuk Kiai Saleh. Sedang yang muda-muda mereka lebih 'memilih' berada di shaf kedua, ketiga, atau yang paling belakang. Entah merasa lebih nyaman dan khusyu' saat sholat, atau menghormati yang lebih tua dengan mempersilahkan mereka berada di shaf paling depan, atau mungkin juga karena suatu hal lain, entahlah...

Di masjid tempat kami melaksanakan sholat tarawih menggunakan 23 rakaat. Bagi sebagian orang jumlah rakaat itu mungkin terasa berat, terasa begitu melelahkan setelah selesai sholat. Tapi (seperti yang saya perhatikan) tidak dengan Kiai Saleh. Di umurnya yang sudah 100 tahun lebih, nafasnya masih teratur saat sedang sholat. Dari raut wajah dan nafasnya beliau seperti tidak merasa kelelahan. Saat imam berdiri memulai takbir, beliau juga segera berdiri memulai takbir. Saat imam rukuk dan sujud, beliau juga segera rukuk dan sujud. Tapi, semangat beliau dalam beribadah itu tidak ada pada beberapa jama'ah sholat tarawih lain yang berada di shaf belakang. Semisal, mereka terlihat menunggu imam selesai membaca surat Al-Fatihah, barulah mereka berdiri memulai takbir. Atau, pada rakaat ke-11, sebagian dari mereka telah meninggalkan shaf. Keluar masjid dan tak kunjung kembali untuk menyempurnakan sholat tarawihnya.

Pun demikian saat sholat subuh, di masjid yang sama. Udara dingin di pagi buta tak menyurutkan semangat beliau untuk sholat subuh berjama'ah di masjid. Meski jalannya yang sudah sedikit membungkuk, tak setegak dulu saat berumur 20-an, beliau tetap berjalan kaki dari rumahnya menuju masjid yang berjarak sekitar 500 meter demi menjemput pahala dari Allah di hari tuanya. Sungguh semangat ibadah yang luar biasa bagi seorang yang telah berumur seabad lebih...

Sebagai orang yang berumur jauh lebih muda dari beliau, saya merasa malu. Malu sama Kiai Saleh. Malu sama diri sendiri. Malu karena semangat ibadah beliau lebih baik dari saya. Secara fisik, saya lebih kuat, punya stamina lebih baik. Seharusnya, semangat saya dalam beribadah juga lebih baik dari beliau. Tapi nyatanya tidak. Ya, saya akui itu. Terkadang, saya masih merasa malas untuk menghadiri tahlilan. Sedikit mengeluh untuk melaksanakan sholat tarawih. Merasa enggan untuk sholat Subuh berjama'ah di masjid. Ya, saya tak lebih baik dari beliau. Saya harus belajar. Belajar dari ke-istiqomah-an dan ketekunan ibadah beliau. Belajar istiqomah sholat subuh berjamaah di masjid, meski dinginnya udara di pagi buta yang terasa menusuk tulang-tulang. Belajar untuk tetap tekun beribadah meski di usia yang tak lagi muda.

Semoga kita termasuk orang-orang yang bersemangat dalam beribadah. Amin...

14 Jan 2015

Bahagia Itu Sederhana


“Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kau tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar, saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga datang dar luar. Saat itu semua datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.

“Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret, Dam. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sememntara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang?

“Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, bersungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.”

Ayahku (bukan) Pembohong – Tere Liye

13 Jan 2015

Mencari Makna Hidup Agar Hidup Lebih Bermakna

Mencari Makna Hidup

Mencari makna hidup adalah salah satu bahasan penting yang sering disampaikan oleh para pembicara motivasi. Bahkan mereka begitu menekankan bagaimana pentingnya mengetahui makna hidup. Sebab dengan memahami makna hidup itulah kita bisa menjalani hidup yang lebih bermakna dan lebih termotivasi. Kemudian, ada sesi pelatihan yang membimbing kita untuk menemukan makna hidup kita.  

Adakah yang salah? 
Begini: hidup kita di dunia akan menentukan hidup kita di akhirat. Artinya kita tidak bisa sembarangan menentukan makna hidup berdasarkan konsep yang tidak jelas asalnya. Jika kita salah memaknai hidup ini, kemudian kita hidup berdasarkan makna yang salah, maka sudah bisa ditebak kearah mana kita akan hidup. 

Bagaimana nanti kita di akhirat? 
Mencari makna hidup adalah hal yang serius, bukan main-main. Tidak ada pemikiran parsial yang membedakan urusan dunia dan urusan akhirat. Hidup dunia justru menjadi penentu bagaimana hidup kita di akhirat.

Mungkin dengan metode-metode mutakhir. kita akan menemukan berbagai metode menemukan makna hidup atau tujuan hidup. Kemudian. hal ini memberdayakan hidup kita, menjadi lebih sukses di dunia. Namun, kesuksesan dunia tidak ada artinya jika di akhirat menjadi manusia yang gagal.

Dengan demikian, mencari makna hidup adalah titik kritis yang tidak boleh salah. Ini akan menentukan hidup Anda baik di dunia dan di akhirat. Ulama besar, Muhammad Al Ghazali, pernah berkata bahwa pemahaman hidup yang dangkal adalah sebuah tindak 'kriminal' yang keji.

Mencari Makna Hidup yang Benar

Untuk menemukan makna hidup yang benar, maka kita perlu merujuk ke rujukan yang dijamin kebenarannya yang tiada lain adalah Al Qur'an yang merupakan firman Allah Yang Menghidupkan semua manusia. Tentu saja, Allah Subhaanahu Wa Ta'ala yang paling mengetahui tentang hidup kita termasuk makna hidup kita.

Bolehkah kita mencari makna hidup dibawah bimbingan motivator? Tentu saja boleh, jika motivator tersebut merujuk pula kepada Al-Quran dan hadits. Jika rujukannya bukan Al Qur'an dan Hadits, maka kita perlu memikirkannya lagi.

Adakah kebenaran universal? Ya, tentu saja. Kebenaran universal itu Al Quran sendiri. Hanya saja, ada orang-orang yang tidak mau mengikuti kebenaran Al Qur'an sehingga membuat "kebenaran baru" yang mereka terima. lni masalah iman, perbedaan antara orang yang beriman dan tidak. Jika Anda orang yang beriman, tentu Anda akan menerima dengan sepenuh hati bahwa Al Qur'an adalah sumber kebenaran sejati, bukan yang lain. 

Untuk itu, dalam mencari makna hidup, kita harus bertanya: "apa itu hidup menurut Al Qur'an?". Silahkan baca dan gali Al Qur'an. Silahkan meminta bimbingan ulama yang memahami tafsir Al Quran. Silahkan baca tafsir-tafsir Al Qur'an yang ditulis oleh ulama terpercaya. 

Lalu Apa Makna Hidup MenurutAl Qur'an? 

Sekali lagi, Anda bisa mendalami Al Qur'an untuk menemukan makna hidup yang sebenarnya. Berikut adalah beberapa pemahaman inti tentang makna hidup menurut Al Qur'an. 

Pertama: Hidup Adalah lbadah 

Pada intinya, arti hidup dalam Islam ialah ibadah. Keberadaan kita dunia ini tiada lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah. Makna ibadah yang dimaksud tentu saja pengertian ibadah yang benar, bukan berarti hanya shalat, puasa, zakat, dan haji saja, tetapi ibadah dalam setiap aspek kehidupan kita. 
"Dan Aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." 
(QS Adz Dzaariyaat:56) 

Kedua: Hidup Adalah Ujian 

Allah berfirman dalam QS Al Mulk [67] : 2 yang terjemahnya, 
"(ALLAH) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." 

Allah akan menguji manusia melalui hal-hal sebagai berikut sesuai dengan QS Al Baqarah [2]:155-156 sbb, 
"dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna llllaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"." 

Ketiga: Kehidupan di Akhirat Lebih Baik dibanding Kehidupan di Dunia 

Dalam QS Ali 'Imran [3]:14, 
 "dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita- wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." 
QS Adh Dhuha [93):4, 
"dan sesungguhnya hari kemudian (akhirat) itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)."

Keempat: Hidup Adalah Sementara 

Dalam OS Al Mu'min (40):39, Allah berfirman, 
"Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal." 

Dalam OS Al Anbiyaa (21]:35, 
 "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan." 

Agar Hidup Lebih Bermakna

Setelah Anda memahami makna hidup, maka langkah selanjutnya ialah menyelaraskan hidup dengan makna hidup tersebut. lnilah yang akan menjadikan hidup kita lebih bermakna. Jika kita salah memaknai hidup, maka apa makna yang bisa kita dapatkan dari hidup ini? 

Menyelaraskan hidup dengan makna hidup diatas diantaranya dengan cara: 
  1. Jika hidup itu adalah ibadah, maka pastikan semua aktivitas kita adalah ibadah. Caranya ialah pertama selalu meniatkan aktivitas kita untuk ibadah serta memperbaharuinya setiap saat karena bisa berubah. Kedua. pastikan apa yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan (ibadah mahdhah) dan tidak dilarang oleh syariat (ghairu  mahdhah). 
  2. Jika hidup itu adalah ujian, maka tidak ada cara lain menyelaraskan hidup kita, yaitu menjalani hidup dengan penuh kesabaran. 
  3. Jika kehidupan akhirat itu lebih baik, maka kita harus memprioritaskan kehidupan akhirat. Bukan berarti meninggalkan kehidupan dunia, tetapi menjadikan kehidupan dunia sebagai bekal menuju akhirat. 
  4. Jika hidup ini adalah sementara. rnaka pertu kesungguhan (ihsan) dalam beramal. Tidak ada lagi santai, mengandai-ngandai, panjang angan-angan apalagi malas karena kita tidak hidup ini tidak selamanya. Bergeraklah sekarang, bertindaklah sekarang, dan berlomba-lombalah dalam kebaikan. 
Seungguhnya, apa yang ada dalam Al Qur'an, tidak diragukan kebenarannya, jika ada kesalahan itu datang dari kesalahan saya pribadi. Mudah-mudahan usaha kita memahami makna hidup menjadikan hidup kita lebih bermakna.

Sumber: http://www.motivasi-islami.com/