About

Aku tidak terlalu pandai dan lihai dalam bercerita, meski hanya secuil cerita tentang pribadiku. Yah, cerita di bawah ini setidaknya cukup untuk menggambarkan tentang bagaimana aku...

CINTA SEORANG LELAKI SEDERHANA
Oleh Daryani

Hampir pukul 08.00 pagi. Aku selesaikan tegukan terakhir teh panasku di kantor yang masih sepi. Kulihat kalender. Oh, rupanya tanggal 14 Februari. Hari Valentine ya. Kata orang, hari kasih sayang. Pikiranku merunut kejadian dari bangun tidur sampai akhirnya aku terduduk di kursi kantor pagi ini.

Pukul 05.00. Selesai shalat subuh, kujalankan aktivitas seperti biasa. Memasak bubur untuk si kecil, lalu membuat sayur dan menggoreng lauk untukku, anak sulungku, juga si mbak. Rutinitas yang adakalanya menjemukan, dan kadang saat hari libur aku ingin sejenak melupakan aktivitas ini. Tapi ini masih hari Selasa. Selesai masak, kusiapkan bekalku ke kantor, beberapa botol penampung asi, lalu kumasukkan ke dalam tas. Segera kusiapkan air hangat untuk mandi si kecil yang saat ini sedang dalam gendongan Mas Didi, suamiku. Faris langsung menyambutku dengan celotehnya yang lucu. Begitu air hangat menyentuh badannya, celotehannya makin keras. Tertawa-tawa dan kadang menepuk nepuk wajah, juga bahuku.

“Ayo, sayang, udahan ya mandinya” kuhamparkan handuk didepan badanku. Faris menggeleng-geleng dan asyik memukul-mukul air. Kutunggu beberapa saat, takut anakku terampas keceriaannya.

“Ayo, nak. Sudah ya mainnya, ntar Bunda kesiangan” Faris menurut. Kucium pipinya yang sudah wangi.

Kubaringkan tubuh kecilnya diatas kasur. Dengan cepat kupakaikan kaos dalam, pampers, celana, terakhir bajunya. Kusisir rambutnya yang jarang dan berwarna kemerahan. Faris merangkak cepat dan segera berdiri di depan teralis jendela. Tempat itu adalah favoritnya. Kupanggil suamiku untuk menjaganya sebentar. Sekarang saatnya aku membersihkan badan dan bersiap berangkat kerja.

Setelah berdandan rapi, segera aku duduk manis di belakang suamiku. Dengan kecepatan sedang, Supra X yang dikemudikan suami membawa kami membelah kemacetan pagi, mengantarkanku ke stasiun. Kurang lebih tujuh menit kemudian, sampailah aku distasiun langgananku. Kucium tangan suami dan segera berlari kecil ke ujung peron arah Jakarta, menunggu krl yang hampir tiba.

Tiga puluh menit kemudian, aku sudah bisa duduk manis di kursi kantor. Kutatap kembali, kalender di mejaku. Tanggal 14. Ah,….jangankan hari valentine, hari ulang tahunku saja, suamiku seringnya lupa. Kalau saja aku tak memberitahunya, dan minta dia mengucapkan selamat ulang tahun padaku, dia gak ingat hari ulang tahunku. Ulang tahun pernikahan pun, dia sering lupa. Kalau saja, dia tak melihatku berpakaian rapi dan wangi, mengajaknya makan malam berdua aja di warung kaki lima langganan kami, dia tak ingat kalau saat itu kami sedang merayakan hari jadi pernikahan kami.

“Bun, kalau ayah tak ingat, bukan berarti ayah tak sayang sama bunda dan anak-anak” katanya waktu itu.

“Ya, tapi kan kalau pas hari spesial, penginnya dikasih perhatian lebih” jelasku sambil menyeruput jeruk hangat.

“Ayah ‘kan, orangnya tidak romantis. Tidak bisa berkata-kata puitis. Rasanya aneh dan lucu aja, kalau ayah melakukannya, seakan-akan itu bukan diri ayah”

“Ayah, bunda ‘kan gak cukup hanya dikasih duit saja, bunda mau ditanya apa kabarnya, gimana kerja hari ini, ada cerita apa, trus sekali-kali deh, bunda pengin ayah belikan baju, khusus yang ayah pilih sendiri buat bunda. Pengin diperhatikan gitu” aku masih merajuk dan membujuk

“Aduh, kalau beli baju, ayah tak bisa, takut enggak suka dan gak sesuai ukurannya. Ntar udah mahal-mahal malah enggak dipakai”

Itu hanya beberapa penggalan percakapan antara aku dan suamiku. Suamiku memang unik, dan aku tahu sedari dulu. Jangan dibayangkan, saat pacaran dulu dia memberiku bunga atau coklat. Oh, tidak. Tapi, dia selalu membawakan buah-buahan yang aku suka. Tak pernah dia SMS merayu, puitis, bernada manis. SMS ku yang panjang dan lebar kali tinggi, seringnya hanya dibales “Oke”. “Iya”. Paling panjang dibales, “Oke bunda, terima kasih ya”. Sering sebal memang dengan kebiasaannya ini. Toh, meskipun aku ingin dia sedikit saja bersikap romantis tetap saja tak bisa. Ingin rasanya kutulis puisi yang kutujukan untuk diriku, lalu aku kasih notes padanya, untuk membelikanku coklat, lalu coklat dan puisi itu dibungkusnya pake kertas kado, lalu berikan padaku ketika aku pulang kerja. Tapi sepertinya usahaku takkan berhasil, lalu kuurungkan ide konyol itu.

Orang bilang, cinta itu harus diungkapkan dengan kata-kata. Akan tetapi, suamiku lebih mengekspresikannya dalam bentuk nyata. Meksipun jarang mengucapkan cinta, tetapi dia selalu mengantarku setiap pagi, ke stasiun kereta. Ketika sore aku turun kereta, tak jarang dia sudah menungguku lama, tanpa mengeluh, mengomel ataupun menampakkan wajah lusuh. Padahal, jika aku janjian dengannya, dan dia datangnya telat sepuluh menit saja, wajahku sudah manyun dan masam tak karuan. Suamiku juga selalu membantuku mengurus kedua anak kami. Terbiasa menggendong, mengganti celananya yang basah kena ompol, membersihkan pup, juga terbiasa memandikan anak, terutama si sulung yang selalu minta dimandikan ayahnya. Meskipun sudah rapi pakai baju kerja, jika si sulung tak mau dimandikan si mbak, maka suamiku dengan rela memandikannya.

Tak jarang, kita menginginkan pasangan menjadi seperti yang kita inginkan. Melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti yang kita lakukan atau orang lain lakukan. Akan tetapi, pada dasarnya, setiap orang adalah pribadi yang unik, yang sudah punya kebiasaan masing-masing. Menerima perbedaan itu lebih baik, daripada memaksakan kehendak. Seiring bertambahnya usia dan kedewasaan, semakin aku sadari bahwa Mas Didi adalah lelaki terbaik yang dikirimkan Allah untukku. Lelaki sederhana yang tak bisa mengucapkan cinta dengan kata-kata, tetapi tindakannya yang nyatalah yang makin menguatkanku bahwa dia adalah lelaki yang terbaik dan penuh cinta. Tak cuma hari valentine saja, tetapi disetiap harinya, mas Didi selalu menumbuhkan cinta padaku, juga pada buah hati kami. [end]