4 Sept 2014

Jalan Panjang Penjaja Cilok

Potret kemiskinan di Indonesia terlihat jelas dalam foto bocah lelaki yang tengah memikul beban berat dipundaknya, yang kini ramai disebarkan di media sosial. Samsul, demikian namanya, usianya baru 10 tahun dan duduk di kelas 4 SD, di Desa Bumijawa Kabupaten Tegal.
Sepulang sekolah, Samsul dan adiknya Zindan tidak pergi bermain, tapi mencari nafkah dengan berjualan bakso cilok. Samsul adalah sulung dari 4 bersaudara yang duduk dikelas 4 SD. Zindan adik kandung dari Samsul yang duduk di kelas 1. Keduanya sangat piawai mempersiapkan dagangan ciloknya.
Setiap pulang dari sekolah Samsul dan Zindan mulai menjajakan jualannya. Samsul tidak merasa malu saat berjualan, bahkan ia merasa senang bisa membantu kedua orangtuanya. Samsul sangat senang jika Zindan membantu berjualan bersamanya. Prihatin dengan kondisi orang tuanya, sepulang sekolah Samsul berjualan cilok demi mendapat sedikit rupiah.

Tak jarang, Samsul dan keluarga terpaksa makan cilok tengik bila tak ada lauk teman nasi. Berbagi tugas dengan adiknya menabuh bambu guna memberi tanda saat berjualan keliling. Harga cilok dagangannya hanya 500 rupiah. Keduanya harus piawai menjajakannya karena harus segera habis dalam sehari. Perjuangan Samsul tidak sampai disini, Ia harus menggendong gerobaknya. Ia tidak peduli dengan rasa sakit di pundaknya. Kadang pembeli sering hutang kepada Samsul, tapi bocah kecil ini tidak berani untuk menagih hutang dari pembeli ciloknya. Samsul seringkali berjualan diluar desanya. Bumijawa memang desa yang curah hujannya tinggi, sering Samsul dan Zidan harus bersabar untuk mengejar jualan ciloknya hingga habis karena turun hujan.

Ayah Samsul nikah muda, Ia pekerja serabutan untuk mendapatkan sesuap nasi. Ibu Samsul kini menderita sakit yang membutuhkan biaya pengobatan. Modal yang Samsul dapat merupakan iba dari salah seorang kios penggiling daging walaupun hutang keluarga Samsul belum tertunaikan. Apa mau dikata, Samsul harus berjuang demi mendapatkan rezeki untuk membantu kedua orang tuanya. Samsul tak lepas dari cacian teman-teman sebayanya saat berjualan. Ia tidak peduli dengan itu semua. Masa kecil Samsul tidak sepenuhnya bias ia nikmati. Teman-teman sebayanya kadang ingin mengajak bermain saat pulang sekolah, namun Samsul keluar rumah dengan gerobak yang di gendongnya. Ibu Samsul sering merasa bersalah melihat anaknya berjualan keliling untuk membantu perekonomian keluarganya.

Jarak kelahiran anak-anaknya sangat dekat sehingga pengeluaran ekonomi sangat banyak. Terutama untuk pendidikan anak-anaknya. Hingga kini Samsul masih punya tunggakan biaya pendidikan di sekolahnya. Jualan cilok tidak mampu menutupi segala pengeluaran keluarga. Dalam sehari Samsul berjualan cilok hanya mendapatkan uang kurang lebih 12.000 rupiah. Terkadang orang tua Samsul menyerah karena tidak sanggup membiayai sekolahnya. Samsul punya cita-cita bisa melanjutkan ke Pondok Pesantren. Namun, kedua orangtuanya tidak sanggup mewujudkan impian Samsul. Samsul nasibnya tidak ingin seperti orangtuanya, Ia tidak ingin buta huruf. "Samsul ingin mondok di pesantren, tapi ibu nggak punya uang. Samsul nggak ingin seperti bapak & ibu, nggak sekolah", ujar Samsul dengan semangat dan kemauan yang tinggi dalam berjuang untuk mencapai cita-citanya.

Sumber: 
http://mytrans.detik.com/video/2012/05/20/1/3/148/4694/jalan-panjang-penjaja-cilok
http://inspirasiperjuanganmu.blogspot.com/2012/05/samsul-sang-penjaja-cilok-di-kaki.html


Share: