Perawakannya sudah sepuh. Umurnya 104 tahun. Saya mengetahuinya ketika ikut acara tahlilan tetangga di dekat kontrakan. Saat mendengar bapak-bapak bercanda dengan beliau sebelum acara tahlil dimulai barulah saya tahu kalau umurnya sudah lebih dari 'kepala 10'. Orang-orang memanggilnya Kiai Saleh. Tapi, beliau bukan kiai besar yang punya pondok pesantren dengan ribuan santri. Bukan kiai yang kalau ngisi pengajian kemana-mana selalu dikawal santri kepercayaannya, pake mobil bagus plus sopir yang kebanyakan juga santrinya sendiri. Ya, beliau bukan kiai yang semacam itu. Beliau cuma kiai yang mengajar ngaji anak-anak di surau atau langgar.
Suaranya masih sangat lantang saat memimpin tahlil, lebih lantang dari kami yang umurnya terpaut jauh di bawah beliau. Tak ada pengeras suara atau sound system, tapi dari ruang tengah (tempat Kiai Saleh memimpin tahlil, saya berada di teras rumah) suaranya masih terdengar sangat jelas. Meskipun terkadang beberapa kali terdengar beliau sedikit ngos-ngosan saat menghela nafasnya. Sesekali beliau meneguk air gelas kemasan yang ada di depannya. Entah haus atau sekadar menghilangkan serak-serak di tenggorokannya yang sudah mulai mengering.
Selama 7 malam tahlilan, tidak sekalipun beliau 'absen'. Selalu hadir memimpin tahlil dengan suara lantangnya. Tak ada raut wajah lelah, lesu atau mengantuk. Seringkali beliau yang memimpin semua bacaan tahlilan, mulai tawassul, pembacaan Surah Yaasin, pembacaan tahlil sampai doa. Tapi terkadang beliau hanya memimpin tawassul, pembacaan tahlil dan doa, sedang pembacaan Surah Yaasin beliau serahkan kepada ustad yang kebetulan hadir pada waktu itu.
Saat sholat tarawih pun beliau tidak luput dari perhatian saya. Sering kali saya persis berada di sampingnya. Sedikit saya perhatikan, di shaf paling depan kebanyakan diisi bapak-bapak, lebih tepatnya kakek-kakek menurut saya, termasuk Kiai Saleh. Sedang yang muda-muda mereka lebih 'memilih' berada di shaf kedua, ketiga, atau yang paling belakang. Entah merasa lebih nyaman dan khusyu' saat sholat, atau menghormati yang lebih tua dengan mempersilahkan mereka berada di shaf paling depan, atau mungkin juga karena suatu hal lain, entahlah...
Di masjid tempat kami melaksanakan sholat tarawih menggunakan 23 rakaat. Bagi sebagian orang jumlah rakaat itu mungkin terasa berat, terasa begitu melelahkan setelah selesai sholat. Tapi (seperti yang saya perhatikan) tidak dengan Kiai Saleh. Di umurnya yang sudah 100 tahun lebih, nafasnya masih teratur saat sedang sholat. Dari raut wajah dan nafasnya beliau seperti tidak merasa kelelahan. Saat imam berdiri memulai takbir, beliau juga segera berdiri memulai takbir. Saat imam rukuk dan sujud, beliau juga segera rukuk dan sujud. Tapi, semangat beliau dalam beribadah itu tidak ada pada beberapa jama'ah sholat tarawih lain yang berada di shaf belakang. Semisal, mereka terlihat menunggu imam selesai membaca surat Al-Fatihah, barulah mereka berdiri memulai takbir. Atau, pada rakaat ke-11, sebagian dari mereka telah meninggalkan shaf. Keluar masjid dan tak kunjung kembali untuk menyempurnakan sholat tarawihnya.
Pun demikian saat sholat subuh, di masjid yang sama. Udara dingin di pagi buta tak menyurutkan semangat beliau untuk sholat subuh berjama'ah di masjid. Meski jalannya yang sudah sedikit membungkuk, tak setegak dulu saat berumur 20-an, beliau tetap berjalan kaki dari rumahnya menuju masjid yang berjarak sekitar 500 meter demi menjemput pahala dari Allah di hari tuanya. Sungguh semangat ibadah yang luar biasa bagi seorang yang telah berumur seabad lebih...
Sebagai orang yang berumur jauh lebih muda dari beliau, saya merasa malu. Malu sama Kiai Saleh. Malu sama diri sendiri. Malu karena semangat ibadah beliau lebih baik dari saya. Secara fisik, saya lebih kuat, punya stamina lebih baik. Seharusnya, semangat saya dalam beribadah juga lebih baik dari beliau. Tapi nyatanya tidak. Ya, saya akui itu. Terkadang, saya masih merasa malas untuk menghadiri tahlilan. Sedikit mengeluh untuk melaksanakan sholat tarawih. Merasa enggan untuk sholat Subuh berjama'ah di masjid. Ya, saya tak lebih baik dari beliau. Saya harus belajar. Belajar dari ke-istiqomah-an dan ketekunan ibadah beliau. Belajar istiqomah sholat subuh berjamaah di masjid, meski dinginnya udara di pagi buta yang terasa menusuk tulang-tulang. Belajar untuk tetap tekun beribadah meski di usia yang tak lagi muda.
Semoga kita termasuk orang-orang yang bersemangat dalam beribadah. Amin...
Saat sholat tarawih pun beliau tidak luput dari perhatian saya. Sering kali saya persis berada di sampingnya. Sedikit saya perhatikan, di shaf paling depan kebanyakan diisi bapak-bapak, lebih tepatnya kakek-kakek menurut saya, termasuk Kiai Saleh. Sedang yang muda-muda mereka lebih 'memilih' berada di shaf kedua, ketiga, atau yang paling belakang. Entah merasa lebih nyaman dan khusyu' saat sholat, atau menghormati yang lebih tua dengan mempersilahkan mereka berada di shaf paling depan, atau mungkin juga karena suatu hal lain, entahlah...
Di masjid tempat kami melaksanakan sholat tarawih menggunakan 23 rakaat. Bagi sebagian orang jumlah rakaat itu mungkin terasa berat, terasa begitu melelahkan setelah selesai sholat. Tapi (seperti yang saya perhatikan) tidak dengan Kiai Saleh. Di umurnya yang sudah 100 tahun lebih, nafasnya masih teratur saat sedang sholat. Dari raut wajah dan nafasnya beliau seperti tidak merasa kelelahan. Saat imam berdiri memulai takbir, beliau juga segera berdiri memulai takbir. Saat imam rukuk dan sujud, beliau juga segera rukuk dan sujud. Tapi, semangat beliau dalam beribadah itu tidak ada pada beberapa jama'ah sholat tarawih lain yang berada di shaf belakang. Semisal, mereka terlihat menunggu imam selesai membaca surat Al-Fatihah, barulah mereka berdiri memulai takbir. Atau, pada rakaat ke-11, sebagian dari mereka telah meninggalkan shaf. Keluar masjid dan tak kunjung kembali untuk menyempurnakan sholat tarawihnya.
Pun demikian saat sholat subuh, di masjid yang sama. Udara dingin di pagi buta tak menyurutkan semangat beliau untuk sholat subuh berjama'ah di masjid. Meski jalannya yang sudah sedikit membungkuk, tak setegak dulu saat berumur 20-an, beliau tetap berjalan kaki dari rumahnya menuju masjid yang berjarak sekitar 500 meter demi menjemput pahala dari Allah di hari tuanya. Sungguh semangat ibadah yang luar biasa bagi seorang yang telah berumur seabad lebih...
Sebagai orang yang berumur jauh lebih muda dari beliau, saya merasa malu. Malu sama Kiai Saleh. Malu sama diri sendiri. Malu karena semangat ibadah beliau lebih baik dari saya. Secara fisik, saya lebih kuat, punya stamina lebih baik. Seharusnya, semangat saya dalam beribadah juga lebih baik dari beliau. Tapi nyatanya tidak. Ya, saya akui itu. Terkadang, saya masih merasa malas untuk menghadiri tahlilan. Sedikit mengeluh untuk melaksanakan sholat tarawih. Merasa enggan untuk sholat Subuh berjama'ah di masjid. Ya, saya tak lebih baik dari beliau. Saya harus belajar. Belajar dari ke-istiqomah-an dan ketekunan ibadah beliau. Belajar istiqomah sholat subuh berjamaah di masjid, meski dinginnya udara di pagi buta yang terasa menusuk tulang-tulang. Belajar untuk tetap tekun beribadah meski di usia yang tak lagi muda.
Semoga kita termasuk orang-orang yang bersemangat dalam beribadah. Amin...