19 May 2013

Bapak SBY, Sudikah Bapak Belajar dari Kearifan Imperium Majapahit ?

Karsa ini saya tulis beberapa hari menjelang Pilpres putaran kedua tahun 2004, saat itu saya berada di sebuah Villa nan asri di lereng bernama Tretes, kota wisata di Kabupaten Malang. Villa ini milik tokoh politik PPP Jawa Timur yang relative dekat dengan bapak Pitut Suharto, guru politiknya para jendral era Orde Baru. Tepat tanggal 20 September 2004, saya beranjak menuju TPS yang relative dekat dengan Villa untuk melaksanakan hak konstitusional saya sebagai warga negara. Urusan coblos mencoblos relatif lancar walaupun saya ber KTP Jakarta, waktu itu saya mencoblos pasangan nomor 4 yaitu pasangan SBY – JK karena referensi figuritas Amin Rais sebagai tokoh reformasi, disamping itu juga karena saya mempunyai kesan tersendiri terhadap angka 4 yaitu kelahiran anak ke tiga saya yang serba berdimensi 4 yakni tanggal 24 bulan 4 tahun 2004 pukul 4 titik2 pada saat pelaksanaan Pileg 2004. 
Pada saat Pileg 2009, bocah laki2 bungsu saya ini genap berusia 5 tahun, seumur usia pemerintahan pasangan SBY – JK yang sebentar lagi harus berpisah karena syahwat kuasa. Suatu ketika, saat si bungsu berusia 4 tahun, sang ibu bertanya : “Haedar, kalo sudah gede ingin menjadi apa nak ? Dengan polos, Haedar kecil menjawab : “Ingin menjadi Presiden”, padahal dia belum tahu apa artinya presiden”. Kini Haedar kecil memasuki hidup barunya sebagai santri TK “ AL FALAH”, sebuah tk di lingkungan Masjid Al Falah, Bambu Apus, kampungnya para jendral RI bertempat tinggal. Al Falah mempunyai arti ‘kemenangan’, semoga kemenangan SBY dalam Pilpres 2009 ini, menjadi kemenangan sebenarnya bagi Republik Indonesia. MERDEKA !

Jakarta, 19 Agustus 2009

PARADIGMA PEMBANGUNAN NEGARA KESATUAN MAJAPAHIT

Indonesia, karena letak geo strategisnya, menjadi muara dari tarik menarik pengaruh kekuatan peradaban dunia. Negeri ini adalah sebuah entitas unik yang dirajut dari sinergi tiga pilar kekuatan yaitu kekuatan maritime, kekuatan agraris dan kekuatan spiritualitas rakyat. Tiga pilar kekuatan inilah yang menghantarkan nenek moyang kita berhasil membangun sebuah entitas peradaban Nusantara Raya yang cakupan wilayahnya membentang dari ujung barat Sumatra termasuk Malaysia dan Kamboja, sampai ujung timur Irian termasuk Papua New Guinea. Dari ujung utara Filipina sampai pulau Formosa (kini Taiwan) sampai ujung selatan Semenanjung Afrika yaitu pulau Madagaskar.

Untaian zamrud katulistiwa ini bersatu di bawah payung Negara Kesatuan Nusantara Raya Majapahit dengan pemimpin yang berbakat yaitu Perdana Menteri Patih Gajah Mada.
Konsolidasi Negara Kesatuan Majapahit merupakan keajaiban yang luar biasa mengingat cakupan wilayahnya yang begitu luas dengan rentang waktu yang relative singkat sejak Negara ini didirikan oleh Raden Wijaya. Sementara pada saat yang sama, Negara ini harus berhadapan dengan Imperium Islam yang berada di puncak kejayaannya dan Kekaisaran Cina yang masih kokoh yaitu Dinasti Ming.
Tulisan ini adalah sebuah karsa awal untuk merekonstruksi proses-proses konsolidasi menuju Negara Kesatuan Majapahit dengan focus bahasan paradigma pembangunan dan pelajaran sejarah yang dapat diimplementasikan bagi masa depan peradaban Indonesia.
Dengan cakupan wilayah yang begitu luas, dibutuhkan konsolidasi kekuatan militer yang kuat dan tangguh, baik di darat maupun di laut serta kemampuan logistic yang efektif. Disamping itu, juga harus didukung oleh mobilisasi dan partisipasi rakyat.

Kekuatan pemerintahan Patih Gajah Mada adalah kemampuannya mensinergikan kekuatan potensi local dan kearifan local yaitu potensi maritime dan agraris disinergikan dengan kekuatan spiritualitas rakyat.
Berkembangnya armada angkatan laut berimplikasi pada berkembangnya industri perkapalan rakyat yang ditopang oleh melimpahnya bahan baku kayu, dengan demikian berkembang pula perekonomian yang berbasis maritime dan agraris misalnya perikanan laut, perdagangan antar pulau dan ekspor – impor komoditi pertanian.

Mobilitas vertical dalam karier jabatan juga berkembang dengan disediakannya ruang public bagi rakyat untuk meraih jabatan tertinggi dalam pemerintahan. Patih Gajah Mada berasal dari rakyat kebanyakan yang menenmpuh karier politiknya dari bawah. Ia dibesarkan dari rahim lembaga pendidikan Mandala yang dipimpin oleh seorang Resi - sang guru negeri – yang menanamkan makna kekuatan spiritualitas.
Partisipasi rakyat berkembang karena ditopang oleh berkembangnya Sekolah Mandala. Tanah Perdikan, Sekolah Mandala dan Resi adalah satu kesatuan yang mandiri dan independent yang sangat berpengaruh . Melalui entitas inilah terkristalisasi apa yasng disebut “ learning society “ yang tersebar di pelosok negeri.
Masyarakat menjadi lebih cerdas, lebih terorganisir, lebih mandiri dan terberdayakan serta kreatif dan inovatif.

Anak raja, anak bangsawan dan anak rakyat kebanyakan mempunyai sumber yang sama dalam memperoleh pengetahuan yaitu melalui Sistim Pendidikan Mandala, dengan demikian telah terjadi proses demokratisasi dalam sistim pendidikan. Melalui entitas pendidikan Mandala inilah banyak dilahirkan para kesatria yang tangguh di seantero negeri seperti halnya ksatria Saolin di negeri Cina.
Kunci sukses pemerintahan Patih Gajah Mada adalah hilangnya kultur feodal dalam masyarakat, terjadinya demokratisasi dalam sistim pendidikan serta adanya keteladanan Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya, ikhlas dalam bertugas, sepi ing pamrih rame ing gawe dimana pada puncak kejayaannya justru memutuskan untuk menjalani moksha.

Masyarakat model Majapahit ini bertahan sampai masa kerajaan Mataram dan berakhir ketika penjajah Belanda memperkenalkan system feodal model Eropah untuk diterapkan pada kerajaan Mataram dibawah kekuasaan Amangkurat.
Sistim Pendidikan Mandala yang dilestarikan oleh para ulama menjadi Sistim Pendidikan Pesantren digantikan dengan Sistim Pendidikan Sekolah yang feodalistik. Sekolah hanya diperuntukkan bagi anak bangsawan dan priyayi (ambtenaar) yang hanya dinisbatkan untuk menghasilkan tenaga-tenaga administrator pemerintahan penjajah.

Sampai saat ini bangunasn msyarakat kita masih belum berubah, tetap seperti zaman feodal Mataram ciptaan Belanda. Kalau zaman dulu, masyarakat dipilah berdasarkan gelar kebangsawanan seperti Raden, Raden Ajeng dan gelar-gelar lainnya, saat ini gelar kebangsawanan diganti dengan gelar kesarjanaan seperti Ir, Drs, Dr dll. Dengan segala keistimewaannya yang tidak mungkin bisa diraih oleh mayoritas masyarakat kita yang masih miskin.

Bangunan masyarakat seperti ini tidak bisa kita pelihara terus menerus, karena hanya menciptakan kesenjangan dan ketidakstabilan permanent.
Disamping itu, penjajah Belanda juga berhasil mengganti sistim politik yang dikembangkan nenek moyang kita yaitu tata pemerintahan yang berbasis musyawarah diganti dengan sistim politik perwakilan model Perwakilan Aristokrat ala Romawi.

Bangunan politik suatu masyarakat merupakan pengejawantahan nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut, dan tertanam kuat dalam alam bawah sadarnya.
Di alam bawah sadar masyarakat kita,tertanam kuat nilai-nilai harmoni antara kosmos besar dan kosmos kecil, pengejawantahannya adalah manunggalnya rakyat dan raja, kemudian nilai-nilai tersebut disempurnakan oleh hadirnya nilai-nilai Islam yaitu Tauhid, kesatuan sang hamba dengan Al Khaliq.
Sementara demokrasi ala Romawi (Barat) adalah pengejawantahan nilai-nilai yang dianut masyarakat Romawi yang menganut agama pagan yaitu penyembah dewa-dewa. Masing-masing dewa mempunyai kekuasaan , saling bersaing bahkan saling menghancurkan. Dalam prakteknya, symbol dewa-dewa mengejawantah dalam wujud partai-partai yang saling bersaing (manajemen konflik), sementara rakyat terwakili oleh aristocrat (sekarang elit partai).

Bangunan politik seperti ini hanya menghasilkan masyarakat feodal model Romawi, yang berbiaya mahal dan hanya menguntungkan kaum aristocrat dan borjuis (elit partai dan kapitalis).
Saat ini, dunia sedang berada di bawah hegemoni Neo Kolonialisme Amerika Serikat (penjelmaan Imperium Neo Romawi), dan Negara kita masuk dalam perangkap demokrasi ala Amerika dengan kamuflasi gerakan reformasi. Negara kita berada dalam perangkap masyarakat foedal Amerika ( Barat ) yaitu masyarakat yang hanya melayani dan membahagiakan orang-orang kaya dan berkuasa. Orang-orang miskin tersingkir dan terpinggirkan atas nama demokrasi. Dalam pemilu mereka hanya di atas namakan, partai-partai hanya sibuk menggalang kekuasaan di atas penderitaan rakyat. Pemilu dengan biaya mahal hanya menguntungkan elit partai dan kaum berduit, sementara nasib orang-orang miskin tidak berubah.
Sistim politik yang feodalistik seperti ini tidak bisa kita pertahankan karena hanya menghasilkan ketidakadilan.

Tretes, 19 September 2004

dari catatan facebook Bapak Abdul Aziz Basyaruddin..


Share: