15 May 2013

Senyuman Itu Mahal Harganya

Senyuman itu mahal. Tertawa itu bagaikan intan dan berlian. Bahkan lebih dari itu. Sampai-sampai orang bijak berkata, "Jika aku diminta untuk memilih harta atau senyuman, maka yang kupilih bisa tersenyum".

Alasan mereka lebih memilih senyuman daripada harta karena senyum dan tertawa itu mengandung kebahagiaan. Apalah harta melimpah jika dada terasa sempit. Kekuasaan dan kedudukan tinggi jika perasaan tertekan mengusik ketenangan. Bahkan dunia dan seisinya tidak ada artinya sama sekali jika kita bersedih dan muka senantiasa cemberut, bagaikan orang yang baru saja kembali dari melihat jenazah kekasihnya yang tertimpa musibah. Apalah arti istri cantik jika senantiasa tampak cemberut. 

Sulitkan kita untuk tersenyum ? Maka belajarlah dengan cara menyaksikan alam dan berpikir tentangnya. Perhatikanlah segala apa yang ada di sekeliling kita. Sesungguhnya bunga-bunga  yang sedang mekar bersemi itu pada hakikatnya tersenyum. Betapa matahari pagi yang memancarkan cahaya adalah memberikan senyuman kepada makhluk. Gunung, pepohonan yang teduh, air terjun, sungai, hamparan laut, semuanya tersenyum pada kita. Burung-burung dan binatang-binatang pun demikian halnya. Karena itu belajarlah dari alam.

Alam senantiasa tersenyum kepada kita. Demikian halnya manusia. Sekiranya di dalam diri manusia tidak ada rasa rakus, dengki, egois, sombong dan sifat buruk lainnya, pasti setiap berjumpa satu sama lainnya akan saling memberikan senyuman.

Nyatalah bahwa yang menghalangi kita untuk bisa tersenyum dikarenakan hati sedang sakit. Penyakit hati yang dimaksudkan misalnya egois, sombong, dengki, dendam, rakus dan sejenisnya. Selamanya orang akan sulit tersenyum jika penyakit itu masih kuat bersarang di dadanya. Sifat-sifat buruk itu pula yang membuat kita tidak pernah menemukan kebahagiaan hidup dan kebebasan jiwa.

Seorang akan sulit tersenyum jika bertemu dengan orang yang dibenci atau didengki. Kalaupun tersenyum, pasti senyumannya munafik; dibuat-buat dan dipaksakan. Ketika seseorang bertemu dengan orang yang didendami, tentu ia tak akan melemparkan senyuman kepadanya.

Begitu pula orang yang sombong. Karena menjaga diri agar tetap berwibawa, maka senyumannya begitu mahal. Tidak semua orang mendapat senyumannya. Ia suka menampilkan raut muka yang kenceng, dan terkesan kurang familier bagi orang yang melihatnya.

Maka, untuk belajar bisa tersenyum dan tertawa, perlulah kita melatih diri -perlahan-lahan- membersihkan hati dari penyakit-penyakit tersebut. Belajarlah untuk memaafkan kepada orang lain. Janganlah merasa lebih tinggi dari manusia lain. Sadarilah bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan sama. Yang membedakan mulia dan tidak hanya karena akhlaknya. Harta dan jabatan bukanlah jaminan bagi kita untuk menjadi mulia... [end]

Disadur sepenuhnya dari buku 
"32 Sebab Hidup Berkah dan Selalu Bahagia"
karya Abu Fajar al-Qalami.
Share: